makalah kode etik guru

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Yang didorong oleh suatu keinginan luhur untuk berperan aktif untuk menegakkan, mengamankan, mengisi dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta usaha mencerdaskan kehidupan bangsa seperti terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan mewujudkan peningkatan harkat, martabat dan kesejahteraan guru khususnya serta tenaga kependidikan pada umumnya, maka perlu dibentuk suatu organisasi.
Persatuan Guru Republik Indonesia yang kemudian kita kenal dengan sebutan PGRI merupakan satu dari organisasi yang beranggotakan guru yang tidak melihat latar belakang, agama, tingkat pendidikan, satuan pendidikan dan hal lain. Tentunya kenapa PGRI didirikan mempunyai maksud tertentu. Sejarah telah menulis terbentuknya PGRI berawal dari banyaknya berdiri organisasi masyarakat yang berlatar guru, untuk membantu perjuangan Bangsa Indonesia.
Dengan adanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah berhimpunnnya para guru dan tenaga kependidikan lainnya merupakan organisasi profesi, organisasi perjuangan dan organisasi ketenagakerjaan yang membudayakan nilai-nilai Pancasila, untuk menampung aspirasi para guru, membela nasib guru serta memperjuangkan  kesejahteraan anggotanya. Dinamika secara aktif memelihara, mempertahankan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan guru yang dijiwai semangat kekeluargaan, kesetiakawanan sosial, yang kokoh sehingga PGRI sebagai wadah berhimpunnya guru serta tenaga kependidikan lainnya saling merekatkan dan memberdayakkan anggotanya.
PGRI sebagai organisasi perjuangan mengemban amanat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, menjamin, menjaga dan mempertahankan  keutuhan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan membudayakan nilai-nilai luhur Pancasila.
Guru sebagai salah satu pilar pelaksana pembangunan pendidikan dituntut  memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi agar mampu melaksanakan darma baktinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. PGRI bertujuan dan berupaya membina, mempertahankan dan meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kemampuan profesionalnya dan kesejahteraan guru beserta keluarganya.
Memasuki abad 21 ini, terdapat perubahan yang berlangsung cepat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan beserta  dampaknya menuntut PGRI untuk terus berkembang pula yang sesuai dengan dinamikanya, hingga perlu adanya perubahan, pengembangan serta penyempurnaan paradigma baru untuk menyongsong masa depan dan segala tantangan zaman saat ini. Perubahan atau penyempurnaan AD/ART dalam menjaga 

1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka permasalahan mendasar yang akan dibahas adalah :
1.            Apa saja kode etik guru di Indonesia ?
2.            Bagaimana dewan kehormatan dan prosedur operasional kode etik guru di Indonesia ?
3.            Apa saja penyempurnaan dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PGRI ?

1.3.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.             Mengetahui kode etik guru di Indonesia.
2.             Mengetahui dewan kehormatan dan prosedur operasional kode etik guru di Indonesia.
3.             Mengetahui penyempurnaan dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PGRI.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Kode Etik Guru
Setiap pekerjaan profesional atau profesi pasti memiliki kode etik yang menjaga orang yang menggeluti profesi tersebut tetap profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Guru sebagai salah satu tenaga kependidikan juga memiliki kode etik khusus. Sama seperti profesi-profesi lainnya yang memiliki kode etik, guru harus menjalankan kode etik tersebut dengan berbagai resiko.
Kode etik guru tersebut harus dipegang dan ditaati dengan baik oleh guru. Pekerjaan atau profesi guru bukanlah profesi yang sederhana, guru tidak hanya sebatas mengajar dan melaksanakan pembelajaran saja namun juga perlu melakukan pengabdian untuk memajukan dunia pendidikan. Pelanggaran terhadap kode etik guru dapat dijatuhi sanksi hingga pencabutan profesi serta hak dan kewajiban sebagai guru.
Kode etik guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat (Soetjipto dan Kosasi, 1999: 34). Kode etik guru di Indonesia antara lain:
1.      Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3.      Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4.      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.
5.      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6.      Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7.      Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
8.      Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dari banyak kode etik yang telah disampaikan diatas, memperlihatkan bahwa kode etik tersebut sangat erat kaitannya dengan pendidikan dan otomatis mengikat pada orang yang memilih guru sebagai profesinya. Profesi guru memang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Tanpa adanya guru maka pendidikan tidak akan dapat dijalankan.
Kode etik yang mengikat guru diatas menjadikan jabatan guru dapat dijadikan sebagai panutan. Guru harus mampu memperhatikan banyak kepentingan bukan hanya kepentingan pribadi, namun juga golongan dan kepentingan umum hingga kepentingan bangsa. Profesi guru harus mampu menyeimbangkan dan tahu mana yang harus didahulukan diantara banyak hal yang harus diemban sebagai hak dan kewajiban profesi guru.

2.2.       Dewan Kehormatan Guru
DEWAN KEHORMATAN
 DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA

BAB I
 KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
 Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1)     Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
(2)     Peraturan tentang Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
(3)     Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
(4)     Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
(5)     Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(6)     Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
(7)     Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(8)     Penanganan dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya terhadap etika guru yang telah ditetapkan.

BAB II
KEORGANISASIAN
 Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal 30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam rangka penegakan disiplin etik guru. 
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1)     Dewan Kehormatan Guru Indonesia berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang bersangkutan.
(2)     Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI  Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
(3)     Pembentukan DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota: yang masing-masing disebut pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
(4)     Pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di  provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(5)     Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan organisasi DKGI  dimaksud dari pengurus besar PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas, pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan informasi tentang :
a.      Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.
b.      Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.
Pasal 4
Status
(1)     Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi  PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI.
(2)     Status DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau badan-badan yang lainnya.
(3)     Untuk menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara terpisah dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya.
(4)     Pengelolaan tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau Kabupaten/Kota.
Pasal 5
Kedudukan
(1)     Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)     Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
(3)     Apabila pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun dengan  PGRI Kabupaten/kota.
(4)     Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
(5)     Pelimpahan tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1)     Susunan keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang lainnya sesuai dengan keperluan.
(2)     Susunan pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
(3)     Susunan anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan lainnya.
(4)     Jika diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan yang ditangani.
(5)     Selama menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat 4 di atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota tetap lainnya.
(6)     Masa jabatan anggota DKGI  tidak tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1)     Ketua DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)     Ketua DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
(3)     Sebelum DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara resmi dan lengkap.
(4)     Penunjukkan, pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan pengurus PGRI.
(5)     Apabila salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
(6)     Pemberhentian terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.
Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau
ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya yang di yakini.
(1)     Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2)     Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
(3)     Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
(4)     Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun kemasyarakatan.
(5)     Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
(6)     Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1)     Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
(2)     Masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera berlaku setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada daerah tersebut.
Pasal 10
 Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1)     Memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya tentang:
a.  pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;
b.  pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi  di wilayah kewenangannya;
c.  pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;
d.  pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan
e.  pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
(2)     Pelaksanaan tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua tingkatan;
(3)     Pelaksanaan tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di semua tingkatan organisasi.
Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan ketentuan sebagai berikut :
(1)     Pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
(2)     Waktu dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun satu kali dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau Konkab/kot PGRI;
(3)     DKGI dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri;
(4)     Ketua DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga berhalangan maka persidangan sementara ditunda;
(5)     Sekretaris bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.
Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1)     Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak.
(2)     Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
(3)     Keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.
Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1)     Garis hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
(2)     Garis hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau Perngurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
(3)     Keputusan DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan pengurus PGRI.
(4)     Apabila DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang setingkat dengan DKGI tersebut.
Pasal 15
 Adminstrasi dan Pendanaan
(1)     Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
(2)     Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
(3)     Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.

BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1)     Meningkatkan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
(2)     Meningkatkan perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
(3)     Menciptakan suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut :
(1)     Guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
(2)     Terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
(3)     Tumbuhnya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1)     Menganjurkan kepada pemerintah dan swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
(2)     Menyelenggarakan berbagai pertemuan profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
(3)     Menyebarluaskan informasi secara tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
(4)     Menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan masyarakat.
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)     Kode Etik Guru Indonesia.
(2)     Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(3)     Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
(4)     Status guru.
(5)     Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)     Kegiatan pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
(2)     Dalam melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.

BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA

Pasal 21
T u j u a n
(1)     Memecahkan berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen pemerintah, masyarakat, atau  guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(2)     Menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan.
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)     Menangani berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
(2)     Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat  dilakukan apabila terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia.


Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)     Para pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut.
(2)     Apabila di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa diajuka ke DKGI pusat.
(3)     Surat pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang diajukan tersebut.
(4)     Surat pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau  lebih.
(5)     Apabila surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
(6)     Apabila DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.


Pasal 24
Pengkajian
(1)     Setiap pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
(2)     Kegiatan pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
a.       Mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;
b.      Mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;
c.       Mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;
d.      Mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :
1)                 Mengundang pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya;
2)      Mengundang saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan;
3)      Melakukan kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan
4)      Apabila diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
e.       Melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.

Pasal 25
Barang Bukti
(1)     Pada waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan  jika diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau  gambar.
(2)     Apabila pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan.
(3)     DKGI tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)     Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
(2)     Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
(3)     Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
(4)     Mengingat sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)     Apabila dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
(2)     Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
(3)     Saksi ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1)     Tata cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)     Apabila teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI Provinsi dan LKBH PGRI Pusat.
(3)     Apabila pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya tentang kejadian yang sedang di kaji.

Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1)     Tata cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI pusat; (ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)     Keputusan yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah bagi teradu.
(3)     Keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
(4)     Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut:
a.       Akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b.      Itikad yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya kejadian yang bisa dipertimbangkan;
c.       Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
(5)     Apabila kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan masalah tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
(6)     DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.
Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1)     DKGI merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI untuk disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan yang terkait.
(2)     Dalam hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
(3)     Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
(4)     Sanksi yang diberikan bisa berupa: (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3) penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
(5)     Kalau keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak DKGI.
(6)     Apabila selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan seperlunya.
(7)     Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.
Pasal 31
Banding
(1)     Apabila kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan untuk mengajukan naik banding.
(2)     Naik banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa naik banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
(3)     Tata cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota dengan di pusat.
(4)     Keputusan yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI.
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1)     Perbaikan dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai keputusan DKGI.
(2)     Bagi pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada penerima sanksi tersebut.
(3)     Surat perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta kepada masyarakat secara umum.
(4)     Penerbitan surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang bersangkutan.
Pasal 33
Administrasi
(1)     Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
(2)     Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
(3)     Apabila pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus dilanjutkan tanpa kehadirannya.
(4)     Dalam hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat pernyataan.
(5)     Surat dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan diberikan adalah benar.
(6)     Apabila pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka akan menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan.
(7)     Semua keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh Negara.

BAB V
PENUTUP

Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.


2.3.       Aturan Organisasi dan Kongres PGRI
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
AD/ART PGRI
KEPUTUSAN KONGRES XX
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
Nomor : IV/KONGRES/XX/PGRI/2008
Tentang
PENYEMPURNAAN ANGGARAN DASAR DAN
ANGGARAN RUMAH TANGGA PGRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, KONGRES XX PGRI;
Menimbang
:
  1. bahwa kemajuan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan telah berkembangan sedemikian pesat sesuai perkembangan dan kemajuan global;
  2. bahwa PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan berperan aktif dalam pembangunan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan global;
  3. bahwa untuk menyesuaikan dengan semangat dan dinamika pembangunan serta peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGR perlu disempurnakan;
  4. bahwa Kongres XX PGRI Tahun 2008 yang berlangsung dari tanggal 30 Juni s.d. 4 Juli 2008 di Palembang Sumatera Selatan adalah forum tertinggi organisasi yang berwenang menetapkan keputusan-keputusan strategis dan mendasar sebagai landasan operasional dalam mencapai tujuan sesuai jati diri, visi, dan misi organisasi;
  5. bahwa Komisi-Komisi Kerja Kongres XX PGRI telah membahas secara lengkap, terpadu, visioner penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI
  6. bahwa berhubung dengan hal tersebut perlu ditetapkan keputusan kongres tentang  penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI.
Mengingat
:
  1. Undang-undang RI Nomor: 8 tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
  2. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  3. Undang-Undang RI Nomor : 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
  4. Keputusan Presiden RI Nomor 78 Tahun 1994 Tentang Hari Guru Nasinal.
  5. Keputusan Kongres XIX Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor : VII/KONGRES/XIX/PGRI/2003 Tentang Penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI.
  6. Keputusan Kongres XIX PGRI Nomor : IX/Kongres/XIX/PGRI/ 2003 tentang Susunan dan Personalia Pengurus Besar PGRI Masa Bakti XIX, sebagaimana telah diubah dengan keputusan Konpus II PGRI Nomor : V/KONPUS-II/XX/2005 dan telah diubah lagi dengan keputusan Konpus II PGRI Nomor : VI/KONPUS-II/XX/2005.
  7. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: I/KONGRES/XX/PGRI/ 2008 tentang Jadwal Acara Kongres XX PGRI.
  8. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: II/KONGRES/XX/PGRI/ 2008  tentang Tata Tertib Kongres XX PGRI.
  9. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: IV/KONGRES/XX/PGRI/ 2008 Tentang Pembentukan Komisi Kerja Pembahasan Materi Kongres PGRI XX.
Memperhatikan
:
Saran dan pendapat yang berkembang dalam sidang-sidang Kongres XX PGRI.
M E M U T U S K A N  :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN KONGRES XX PGRI TENTANG PENYEMPURNAAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PERASTUAN GURU REPUBLIK INDONESIA.
Pertama
:
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI yang telah disempurnakan, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan keputusan ini.
Kedua
:
Menyatakan berlakunya Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga PGRI yang disempurnakan tersebut di semua  tingkat, dan jajaran organisasi PGRI.
Ketiga
:
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.













BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Guru sebagai tenaga profesional memiliki kode etik sebagai ketentuan dasar yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kode etik tersebut mengatur tentang apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan guru dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan didalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari. Kode etik guru merupakan pedoman sikap dan perilaku yang bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang. Terdapat delapan kode etik yang menjadi pedoman guru dalam melaksanakan profesi atau pekerjaannya.
Tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejateraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi dan meningkatkan mutu profesi serta mutu organisasi profesi.

3.2.       Saran














DAFTAR PUSTAKA

[1] https://docs.google.com/document/d/1U0OKtYW9e0vHfMzvJi4olFR-eqQQCjQxL6257PPeG6E/edit
[2] https://arifgijutsu.wordpress.com/2014/06/09/anggaran-dasar-dan-anggaran-rumah-tangga-pgri-2/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh proposal lomba tata upacara bendera dan baris berbaris (LTUB)

CONTOH LAPORAN MPLS TAHUN 2017

form penilaian sholat dhuha